Latest Post

ADAT SUKU KARO

Written By Unknown on Rabu, 22 Januari 2014 | 05.46


Lesung Di Tanah Karo Tahun 1905


Lesung adalah alat tradisional dalam pengolahanpadi atau gabahmenjadi beras. Fungsi alat ini memisahkan kulit gabah dari beras secara mekanik.
Lesung sendiri sebenarnya hanya wadah cekung, biasanya dari kayu besar yang dibuang bagian dalamnya. Gabah yang akan diolah ditaruh di dalam lubang tersebut. Padi atau gabah lalu ditumbuk dengan alu, tongkat tebal dari kayu, berulang-ulang sampai beras terpisah dari sekam.

Rumah Adat Karo












































Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabu-nya didalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.
Si waluh jabu
Si waluh jabu


Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
    a. Rumah sianjung-anjung
    Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi bertanduk.
    b. Rumah Mecu.
    Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.
Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
    a. Rumah Sangka Manuk.
    Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.
    b. Rumah Sendi.
    Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh. Dalam nyanyian rumah ini sering juga disebut Rumah Sendi Gading Kurungen Manik.
    Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran air pada suatu kampung.
      Jabu dalam Rumah Adat
    Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Kuta Buluh, Buah Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain.
    Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara dapuar dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
    Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut:
      1. Jabu Benana Kayu.
      Terletak di jabu jahe. Kalau kita kerumah dari ture jahe, letaknya sebelah kiri. Jabu ini dihuni oleh para keturunen simantek kuta (golongan pendiri kampung) atau sembuyak-nya.
      Fungsinya adalah sebagai pemimpin rumah adat.
      2. Jabu ujung Kayu (anak beru).
      jabu ini arahnya di arah kenjulu rumah adat. Kalau kita masuk kerumah adat dari pintu kenjulu, letaknya disebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu. Jabu ini ditempati oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana Kayu.
      Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu bena kayu.
      3. Jabu Lepar Benana Kayu
      Jabu ini di arah kenjahe (hilir). Kalau kita kerumah dari pintu kenjahe letaknya disebelah kanan, Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana kayu.
      Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi diluar rumah dan menyampaikan hal itu kepada jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu sungkun berita (sumber informasi).
      4. Jabu lepar ujung kayu (mangan-minem)
      Letaknya dibagian kenjulu (hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke rumah adat, letaknya di sebelah kanan. Jabu ini ditempati oleh kalimbubu jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu si mangan-minem.
      Keempat jabu inilah yang disebut dengan jabu adat, karena penempatannya harus sesuai dengan adat, demikian juga yang menempatinya ditentukan menurut adat. Akan tetapi, adakalanya juga rumah adat itu terdiri dari delpan atau enam belas jabu.
      5. Jabu sedapuren benana kayu (peninggel-ninggel).
      Jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari rumah si mantek kuta (jabu benana kayu), dan sering pula disebut jabu peninggel-ninggel. Dia ini adalah anak beru dari ujung kayu.
      6. jabu sidapuren ujung kayu (rintenteng).
      Ditempati oleh sembuyak dari ujung kayu, yang sering juga disebut jabu arinteneng. Tugasnya adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin) kepada tamu jabu benana kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu arinteneng.
      7. Jabu sedapuren lepar ujung kayu (bicara guru).
      Dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit.
      8. Jabu sedapuren lepar benana kayu
      Dihuni oleh puang kalimbubu dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi ranan. Karena biasanya dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh puang kalimbubu.
      Sumber: Darwin Prinst (Adat Karo)

Perjalanan Dari Berastagi Ke Kabanjahe Tahun 1920

Desa Lau Simomo Tempo Doeloe





Berastagi


Berastagi(berarti "lumbung padi") adalah sebuah kota diKabupaten Karoterletak di persimpangan jalan di jalur utama yang menghubungkan dataran tinggi Karo dari Sumatra Utara ke kota pesisir Medan . 
Kegiatan ekonomi utama di Berastagi, pusat di pasar buah berwarna dan sayuran dan pariwisata. Berastagi terkenal dengan buah markisa .Atraksi utama kota itu adalah dua gunung berapi aktif; Gunung Sibayak , dengan mata air panas, dan Gunung Sinabung . Kota ini juga berhenti di jalan menuju Danau Toba . Kelompok etnis dan linguisitic dominan adalah Batak Karo .

The village rose to significance when Dutch settlers in Sumatra opened a boarding school there in the 1920s. Desa ini meningkat menjadi penting ketika Belanda pemukim di Sumatera membuka sekolah asrama di sana pada 1920-an.
The main economic activities in Berastagi, centre on the colourful fruit and vegetable market and on tourism . Berastagi is famous for itspassion fruit . The main attractions of the town are the two active volcanoes; Gunung Sibayak , with its hot springs, and GunungSinabung .The town is also a stop on the way to Lake Toba . The dominant ethnic and linguisitic group is Karo Batak .
Keterangan gambar 1: Jalan Menuju Berastagi Dari Kabanjahe Tahun 1910.
Keterangan gambar 2: Perkampungan Orang Cina Di Berastagi Tahun 1927, Koleksi B.M.F. Vlielander Hein.

Gunung Sinabung


Gunung Sinabungadalah nama sebuah gunung di Dataran Tinggi Karo,Kabupaten KaroSumatera Utara. Sinabung bersamaSibayak di dekatnya adalah 2 gunung berapi aktif di Sumatera Utara. Dengan ketinggian 2.460 meter, gunung ini menjadi puncak tertinggi di Sumatera Utara.
Koordinat puncak gunung Sinabung adalah 3 derajat 10 menit LU, 98 derajat 23 menit BT.
Keterangan Gambar: Gunung Sinabung Tahun 1925, Koleksi M. Joustra.

Sejarah dan Makna Filosofi Seni Tari Karo




Sejarah dan Makna Filosofi Seni Tari Karo

Sebuah tulisan yang dibuat oleh Julianus P Limbeng.
Bagi masyarakat Karo, dikenal istilah uga gendangna bage endekna, yang artinya bagaimana musiknya, harus demikian juga gerakannya (endek). Endek diartikan disini tidak sebagai gerakan menyeluruh dari anggota badan sebagai sebagaimana tarian pada umumnya, tetapi lebih ditekankan kepada gerakan kaki saja. Oleh sebab itu endek tidak dapat disamakan sebagai tari, meskipun unsur tarian itu ada disana. Hal ini disebabkan konsep budaya itu sendiri yang memberi makna yang tidak dapat diterjemahkan langsung kata per kata. Karena konsep tari itu sendiri mempunyai perbedaan konsep seperti konsep tari yang dalam berbagai kebudayaan lainnya. Konsep endek harus dilihat dari kebudayaan karo itu sendiri sebagai pemilik kosa kata tersebut.

Konsep-konsep seperti ini juga dapat kita lihat pada istilah musik bagi masyarakat Karo. Pada masyarakat Karo tidak dikenal istilah musik, dan tidak ada kosa kata musik, tetapi dalam tradisi musik kita mengenal istilah gendang yang terkait dengan berbagai hal dalam ‘musik’ atau bahkan dapat diterjemahkan juga sebagai musik. Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak, setidaknya gendang mempunyai lima makna,
    (1) gendang sebagai ensambel musik, misalnya gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen dan sebagainya;
    (2) gendang sebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional, misalnya gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya;
    (3) gendang sebagai nama lagu atau judul lagu secara tradisional, misalnya gendang simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam (yang juga terkadang sebagai cak-cak atau style) dan sebagainya;
    (4) gendang sebagai instrument musik, misalnya gendang indung, gendang anak; dan
    (5) gendang sebagai upacara, misalnya gendang guro-guro aron, dan sebagainya. Konsep seperti ini juga berlaku bagi tarian.
Endek dapat diartikan sebagai gerakan dasar, yaitu gerakan kaki yang sesuai dengan musik pengiring (accompaniment) atau musik yang dikonsepkan pada diri sipenari sendiri, karena ada kalanya juga gerakan-gerakan tertentu dapat dikategorikan sebagai tarian, namun tidak mempunyai musik pengiring. Kegiatan menari itu sendiri disebut dengan landek, namun untuk nama tari jarang sekali dipakai kata landek, jarang sekali kita pernah mendengar untuk menyebutkan landek roti manis untuk tari roti manis atau tarian lainnya. Malah lebih sering kita dengar dengan menggunakan istilah yang diadaptasi dari bahasa Indonesia yaitu ‘tari’, contohnya tidak menyebut Landek Lima Serangke, tapi Tari Lima Serangke. Landek langsung terkait dengan kagiatan, bukan sebagai nama sebuah tarian.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam tari karo, yaitu endek (gerakan naik turun kaki), jole atau jemole, yaitu goyangan badan, dan tan lempir, yaitu tangan yang gemulai, lembut. Namun disamping itu bagaimana ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam gerakan-gerakan tari, terkait dengan musik pengiring itu sendiri dan dalam konteks tarian itu sendiri, misalnya dalam tarian adat, muda-mudi, khusus, dan sebagainya.
Gerakan dasar tarian Karo dibagi atas beberapa style yang dalambahasa Karo disebut dengan cak-cak. Ada beberapa cak-cak yang dikenal pada musik Karo, yang terkait dengan gaya dan tempo sekaligus, yaitu yang dimulai dari cak-cak yang sangat lambat sampai kepada cak-cak yang relative cepat, yaitu antara lain yang lazim dikenal adalah:
    cak-cak simalungen rayat, dengan tempo lebih kurang 60 – 66 jika kita konversi dalam skala Metronome Maelzel. Apabila kita buat hitungan berdasarkan ketukan dasar (beat), maka cak-cak ini dapat kita kategorikan sebagai cak-cak bermeter delapan. Artinya pukulan gung dan penganak (small gong) sebagai pembawa ketukan dasar diulang-ulang dalam hitungan delapan;
    cak-cak mari-mari, yang merupakan cak-cak yang lebih cepat dari cak-cak simalungen rayat. Temponya lebih kurang 70 hingga 80 per menit;
    cak-cak odak-odak, yang merupakan cak-cak yang temponya lebih kurang 90 – 98 per menit dalam skala Maelzel.
    cak-cak patam-patam, merupakan cak-cak kelipatan bunyi ketukan dasar dari cak-cak odak-odak, dan temponya biasanya lebih dipercepat sedikit antara 98 sampai 105. Endek kaki dalam cak-cak ini merupakan kelipatan endek dari cak-cak odak-odak.
    cak-cak gendang seluk, yaitu cak-cak yang sifatnya progressif, semakin lama semakin cepat, yang biasanya dimulai dari cak-cak patam-patam. Jika dikonversi dalam skala metronome Maelzel, kecepatannya bias mencapai 160-an, dan cak-cak silengguri, biasanya cak-cak ini paling cepat, karena cak-cak ini dipakai untuk mengiringi orang yang intrance atau seluk (kesurupan).
Sejarah dan Makna Filosofi
Berbicara tentang sejarah seni tari Karo, maka kita akan dihadapkan pada kajian folklore, karena tidak ada tanggal-tanggal yang pasti diketahui kapan munculnya tarian Karo. Tetapi pada umumnya tari yang unsur dasarnya adalah gerak dapat kita temui dalam ritus-ritus dan upacara-upacara tradisional yang ada pada masyarakat Karo. Dengan demikian makna dari setiap gerakan-gerakan mempunyai makna dan filosofi tergantung jenis tarinya. Meskipun demikian ada beberapa hal yang terkait dengan tari karo, misalnya gerakan tangan yang lempir, pandangan mata, endek nahe, b ukan buta-buta. Disamping itu juga makna gerakan-gerakan tangan juga mempunyai makna tersendiri.
Ada beberapa makna dari gerakan tari Karo berupa perlambangan, yaitu:
    gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah melambangkan tengah rukur, yaitu maknanya selalu menimbang segala sesuatunya dalam bertindak;
    Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, yang artinya saling tolong menolong dan saling membantu;
    gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pe la banci ndeher adi langa si oraten, yang artinya siapa pun tidak boleh dekat kalau belum mengetahui hubungan kekerabatan, ataupun tidak kenal maka tidak saying;
    gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yang artinya mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat; gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe labanci ndeher, artinya siapapun tidak bias mendekat dan berbuat sembarangan;
    gerakan tangan sampai kepala dan membentuk seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya menimbang sebelum memutuskan, piker dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna;
    gerak tangan kanan dan kiri sampai bahu, melambangkan baban simberat ras menahang ras ibaba, yang bermakna ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Artinya mampu berbuat mampu bertanggung jawab dan serasa sepenanggunan gerakan tangan dipinggang melambangkan penuh tanggung jawab;
    dan gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise per eh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, artinya siapapun yang dating jika sudah berkenalan dan mengetahui hubungan kekerabatan diterima dengan baik sebagai keluarga (kade-kade).
Jenis-jenis Tarian Karo

Tari Komunal

Yang termasuk dalam tarian ini pada masyarakat Karo terdapat beberapa macam yang terkait dengan upacara-upacara adapt misalnya dalam upacara-upacara adat dan peranan-peranan social dalam adapt itu sendiri yang terbagi dalam kelompok-kelompok social tertentu yang sesuai dengan filosofi adapt Karo ‘merga si lima, tutur si waluh, rakut si telu’ Secara kelompok social dapat dibagi menjadi: landek kalimbubu (masih dapat dikelompokkan lebih spesifik lagi); landek sukut (senina, sembuyak, siparibanen, sepengalon, siparibanen, sigameten); landek anak beru dan sebagainya. Juga dalam jenis tari komunal ini masih terdapat bebrapa jenis tarian, misalnya dalam acara guro-guro (acara muda-mudi). Dalam acara ini juga terdapat kelompok-kelompok tarian komunal yang dibagi berdasarkan merga atau beru, tergantung daerahnya. Namun biasanya didahului oleh merga simantek kuta atau orang yang pertama sekali menempati wilayah tertentu dimana upacara tersebut berlangsung, atau biasa juga disebut dengan kalimbubu taneh. Adapun jenis-jenis tarian untuk kategori ini adalah dapat kita temukan dalam upacara-upacara:
kerja erdemu bayu (perkawinan)
merdang merdem atau kerja tahun (upacara pertanian)
nurun-nurun (upacara kematian)
guro-guro aron (muda-mudi)
ersimbu (upacara memanggil hujan), atau biasa juga disebut dengan dogal-dogal
mengket rumah mbaru (meresmikan rumah baru)
ngukal tulan-tulan (menggali tulang)
ngalo-ngalo, dll.
Tari Khusus
Jenis-jenis tarian ini terkait dengan hal-hal yang sifatnya khusus dan bukan bersifat umum, yaitu yang berhubungan dengan dengan peranan seseorang, misalnya:
gendang guru (dukun)
seluk (trance)
perumah begu (memanggil roh)
erpangir ku lau (keramas, bathing ceremony)
perodak-odak
tari tungkat
tari baka
Tari Tontonan
Perkolong-kolong (permangga-mangga)
Mayan atau Ndikkar (seni bela diri khas Karo)
Tari Kuda-Kuda (Simalungun: Hoda-Hoda)
Gundala-gundala (Tembut-tembut Seberaya)
Tari Kreasi Baru
tari roti manis
tari terang bulan
tari lima serangke
tari telu serangke,
tari uis gara, dll.
Tari Sigundari, yaitu tari-tarian yang diciptakan berdasarkan lagu-lagu popular Karo, termasuk gendang kibot.

Fungsi Tarian Karo
penghayatan estetis
pengungkapan emosional
hiburan
komunikasi
fungsi perlambangan
reaksi jasmani
berkaitan dengan norma-norma social
pengesahan lembaga social atau status social tertentu
keseinambungan kebudayaan
pengintegrasian masyarakat
pendidikan

Tari Tradisional Karo



Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:
Tari dalam bahasa Karo disebut “Landek.” Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehinggga tarian tersebut menarik dan indah.
Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain.
Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya Tari Mulih-mulih, Tari Tungkat, Erpangir Ku Lau, Tari Baka, Tari Begu Deleng, Tari Muncang, dan lain-lain.
Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya Tari Gundala-gundala, Tari Ndikkar dan lain-lain.
Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu Tari Morah-morah, Tari Perakut, Tari Cipa Jok, Tari Patam-patam Lance dan Tari Kabang Kiung. Setelah itu muncul pula tari Piso Surit, tari Terang Bulan, tari Roti Manis dan tari Tanam Padi.

Erpangir Ku Lau Tahun 1932


Ini merupakan praktek budaya kuno yang telah menjadi aktivitas sakral bagi masyarakat Karo. Erpangir Ku Lau adalah upacara mandi di paku keling dan ada juga upacara pemberian persembahan sehingga Tuhan Yang Mahakuasa akan memberkati mereka. Hal ini masih dilakukan di beberapa tempat untuk upacara pernikahan, penamaan upacara, dan upacara untuk mencegah penyakit yang jahat.

Kalak Karo Zaman Sinuria


Perlanja Sira

Di zaman dulu karena letak tanah Karo di dataran tinggi yang jauh dari
pantai Timur dan pantai barat Sumatera, sangatlah susah untuk
mendapatkan garam yang merupakan kebutuhan penting. Dalam banyak cerita
tradisi lisan Karo, perlanja sira banyak di sebut-sebut. Profesi ini
harus membawa garam dengan memikul dari kampung2 melayu di pesisir
timur sumatera (sekitar hamparan perak dan deli tua) , berjalan
melewati hutan lebat di bukit barisan mengahadapi resiko diserang
binatang buas dan di rampok (karena garam adalah barang mewah saat
itu). Untuk mencapai tanah Karo melalui jalan di lereng bukit barisan
biasanya makan waktu 4 hari jalan kaki. Cerita perlanja sira biasanya
diajarkan sebagai pengajaran akan kebijakan, kegigihan, kesabaran,
sopan santun dan tolong menolong. (Profesi ini sudah punah sejak tahun
1940an karena Belanda membangun jalan yang bisa dilalui oleh moda
transportasi tradisional dan modern dan semakin berkembangnya
transportasi.

Rumah Adat Karo


Rumah Adat Karo

Rumah adat suku Karo, sebuah suku yang ada di provinsi Sumatera Utara, dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu. Artinya, rumah untuk delapan keluarga.
Rumah itu terdiri dari delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing.
Rumah adat ini berada sekitar 2 meter dari atas tanah dengan tinggi total dapat mencapai lebih dari 10 meter. Maksudnya, agar dahulu penghuni rumah dapat melihat apabila musuh datang dari kejauhan. Rumah adat Karo dipenuhi dengan hiasan-hiasan yang indah sehingga dari jaman penjajahan Belanda, objek Rumah adat Karo merupakan salah satu favorit bangsa Belanda untuk difoto. Contohnya, salah satu rumah di Kabanjahe milik seorang Raja atau Sibayak yang mampu menampung sampai 16 keluarga.
 
Karena keindahan arsitekturnya, Rumah adat Karo merupakan rumah adat yang paling indah dan unik dari seluruh rumah adat di Sumatera Utara.

Asal Usul Suku Karo


Asal Usul Suku Karo

Menurut sumber yang kami temukan, pada zaman dahulu kala ada seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang jauh sekali di seberang lautan. Dia mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India.
Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau. Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri.
Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang.
Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.
Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya.
Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.
Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.
Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk.
Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon “jabi-jabi” (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo ( Tanah Karo).
Pertama-tama mereka membangun rumah mereka dari kayu yang ada di tempat itu, beratapkan alang-alang, dan dindingnya berasal dari pohon enau. Dan mereka membangun 5 dapur dalam satu rumah. Si Karo mengangkat si Talon menjadi Kalimbubu, dan kedua dayang-dayang itu menjadi anaknya. Dan kedua pengawalnya diangkatnya menjadi menantunya. Dan mereka juga menikah.
Setelah beberapa lama mereka tinggal di tempat itu, si Karo memiliki lima anak. Tetapi semuanya adalah perempuan, dan semuanya sangat cantik, jelita. Beberapa tahun kemudian barulah lahir seorang anak laki-laki. Mereka menamainya Meherga (berharga). Dan dari kata inilah asal kata Marga

Test Footer 2

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Sejarah Suku Batak Karo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger